Begitu lama hubungan kita terjalin, ternyata semua telah melekat, termasuk cinta? Kamu tak percaya? Tentu saja. Kamu selalu tak percaya pada perasaanku. Kamu lebih memercayai persepsimu sendiri. Kamu menjunjung tinggi pengetahuanmu. Padahal, kalau boleh jujur, aku tak pernah berbohong jika berkata rindu yang bukan semu itu.
Empat bulan setelah perpisahan kita. Semua begitu berbeda. Entah mengapa meskipun aku belum bisa move on, sudah lahir saja rindu yang sulit kuatasi. Aku mencari-cari kamu dengan menggunakan apapun. Aku mengharapkan beritamu mampir walaupun sekadar cerita atau mitos semata. Semoga kau baik² saja ya. Aku bertanya-tanya, apa salahku?
Untuk Cah(a)ya Penunjukku, aku kebingungan melawan resah dan kangen. Aku berusaha tak memikirkan kamu dan kenangan-kenangan kita dulu, tapi semakin kulawan, semakin kau hadir dan melekat. Perpisahan memang harusnya terlalu menghasilkan rasa sakit karena hubungan kita terjalin begitu lama. Aku hanya menyesal, mengapa semua yang kupikir akan berakhir bahagia malah berakhir secepat itu? Satu helaan napasku memburu, kucuri kamu dalam otakku. Kamu tetaplah bayang-bayang, menghamburkan harapan, kemudian menghempaskan.
Aku melirik ke belakang, melihat dan mengingat apa saja yang pernah kita lakukan. Aku ingat ketika kamu memerhatikanku dengan baik dan peduli. Aku merekam segala rasa cemasmu ketika aku bercerita tentang cowok lain (mungkin. atau hanya perasaanku saja). Aku mengenang senyumanmu untukku yang kulihat pertama kali. Rasanya, aku tak cukup kuat untuk mengembalikan segalanya kembali seperti awal perkenalan kita.
Aku menunggu saat kita bisa bertemu lagi, saling menumbuhkan rasa percaya juga cinta. Aku menunggu kamu datang, membawa pelukan juga rindu yang ku pendam. Mungkinkah kau punya rindu sedalam dan seluas yang kusimpan? Mungkinkah kau punya cinta dan sayang sekuat dan seindah yang kupunya? Mungkin iya, mungkin juga tidak. Kamu begitu sulit kutebak, tapi aku mencintai segala teka-tekimu. Kamu hadir di saat yang tepat, saat aku membutuhkan perkenalan tanpa keribetan, saat aku menginginkan cowok romantis di sampingku. Aku menemukan sosok cowok idaman dalam dirimu, tapi sepertinya aku bukanlah sosok yang kau inginkan. Aku terlalu buruk untukmu. Aku tak ingin wajah tampanmu bersanding dengan cewek seperti aku. Kamu terlalu sempurna untuk kugapai dan aku hanyalah cewek sederhana yang merindukan takdir indah.
Sayang, aku menunggu kamu pulang. Kepulanganmu adalah kebahagiaan bagiku. Aku menunggu kamu berbalik arah dan kembali berjalan ke arahku. Aku mulai mencintaimu dan kurasa kamu juga begitu. Kamu selalu berkata cinta, mengucap rindu, dan tersenyum ke arahku dengan wajah manis. Cukupkah segala alasan itu menjadi dasar penilaiku, bahwa kau juga mencintaiku? Memang terlalu tergesa-gesa menyebutnya cinta, karna kita belum cukup dewasa, tapi izinkan aku bilang bahwa cinta pun bisa datang bahkan tanpa aku meminta.
Ketika berawal denganmu, aku tak minta banyak hal selain pertemanan. Tapi, kau membuka mataku dan mengecup manis anganku, hingga aku merasa nyaman jika berada di dekatmu. Jika perasaan itu makin tumbuh, salahkah aku? Maaf, jika aku terlalu berharap banyak. Maaf, jika aku tak bersikap sadar diri ataupun memilih pergi.
Aku menunggumu sampai datang. Pulanglah, Sayang. Jangan pergi lagi. Aku menunggumu sampai waktu tak izinkan kita bersatu.
Memang banyak orang yang lebih baik dari saya, tapi saya cuma satu, and I will always be my self and always do my best ☺ WELCOME TO MY BLOG :)
Kamis, 05 Juni 2014
Dan lagi .. ..
Ini bukan yang pertama, duduk sendirian dan memerhatikan beberapa tulisan berlalu-lalang. Setiap abjad yang tersusun dalam kata terangkai menjadi kalimat, dan entah mengapa sosokmu selalu berada di sana, berdiam dalam tulisan yang sebenarnya enggan aku baca dan kudefinisikan lagi. Ini bukan yang baru bagiku, duduk berjam-jam tanpa merasakan hangatnya perhatianmu melalui pesan singkat. Kekosongan dan kehampaan sudah berganti-ganti wajah sejak tadi, namun aku tetap menunduk, mencoba tak memedulikan keadaan. Karena jika aku terlalu terbawa emosi, aku bisa mati iseng sendiri.
Tentu saja, kamu tak merasakan apa yang kurasakan, juga tak memiliki rindu yang tersimpan rapat-rapat. Aku sengaja menyembunyikan perasaan itu, agar kita tak lagi saling menganggu. Bukankah dengan berjauhan seperti ini, semua terasa jadi lebih berarti? Seakan-akan aku tak pernah peduli, seakan-akan aku tak mau tahu, seakan-akan aku tak miliki rasa perhatian. Bagiku, sudah cukup seperti ini, cukup aku dan kamu, tanpa kita.
Kali ini, aku tak akan menjelaskan tentang kesepian, atau bercerita tentang banyak hal yang mungkin saja sulit kaupahami. Karena aku sudah tahu, kamu sangat sulit diajak basa-basi, apalagi jika berbicara soal cinta mati. Aku yakin, kamu akan menutup telinga dan membesarkan volume lagu-lagu yang bernyanyi bahkan tanpa lirik yang tak bisa kauterjemahkan sendiri. Aku tidak akan tega membebanimu dengan cerita-cerita absurd yang selalu kaubenci. Seperti dulu, saat aku bicara cinta, kaumalah tertawa. Seperti saat kita masih bersama, aku berkata rindu, namun kautulikan telinga.
Hanya cerita sederhana yang mungkin tak ingin kaudengar sebagai pengantar tidurmu. Kamu tak suka jika kuceritakan tentang air mata bukan? Bagaimana kalau kualihkan air mata menjadi senyum pura-pura? Tentu saja, kautak akan melihatnya, sejauh yang kutahu; kamu tidak peka. Dan, mungkin saja sifat burukmu masih sama, walaupun kita sudah lama berpisah dan sudah lama tak saling bertatap mata.
Entah mengapa, akhir-akhir ini sepi sekali. Aku seperti berbisik dan mendengar suaraku sendiri. Namun, aku masih saja heran, dalam gelapnya malam ternyata ada banyak cerita yang sempat terlewatkan. Ini tentang kita. Ah... sekarang kamu pasti sedang membuang muka, tak ingin membuka luka lama. Aku pun juga begitu, tak ingin menyentuh bayang-bayangmu yang samar, tak ingin mereka-reka senyummu yang tak seindah dulu.
Kalau boleh aku jujur, kata "dulu" begitu akrab di otak, pikiran, dan telingaku. Seperti ada sesuatu yang terjadi, sangat dekat, sangat mendalam, sampai-sampai tak mampu terhapus begitu saja oleh angkuhnya waktu dan jarak. Sudah kesekian kali, aku diam-diam menyebut namamu dalam sepi, dan membiarkan kenangan terbang mengikuti gelitik manja angin; tertiup jauh namun mungkin akan kembali.
Wajah baruku bisa kaulihat sendiri, terlihat lebih baik dan lebih hangat daripada saat awal perpisahan kita. Bicara tentang perpisahan, benarkah kita memang telah berpisah? Benarkah kita sudah saling melupakan? Jika memang ada kata "saling", tapi mengapa hatiku masih ingin terus mengikatmu? Dan, mengapa hingga saat ini kamu tak benar-benar menjauh? Kadang, jarak tak menjadi alasan untuk kita saling berbagi. Dalam serba ketidakjelasan, aku dan kamu masih saja menjalani... menjalani sesuatu yang tak tahu harus disebut apa. Tapi, katamu, masih ada rasa nyaman ketika kita kembali berdekatan. Terlalu tololkah jika kusebut belahan jiwa? Keterikatan aku dan kamu tak ada dalam status, tapi jiwa kita, napas kita, kerinduan kita, miliki denyut dan detak yang sama.
Tidak usah dibawa serius, hanya beberapa rangkaian paragraf bodoh untuk menemani rasa sepi yang sudah lama sekali datang menghantui. Sejak kamu tak lagi di sini, sejak aku dan kamu memilih jalan sendiri-sendiri, aku malah sering main dengan sepi, sulit untuk dipungkiri. 14 Desember. Iya, saat itu aku dan kamu menjadi kita. Indah. Tapi, masa lalu, dulu. Sudah kubilang dari awal kan, "dulu" itu memang menyenangkan.
Dan, di antara tugas-tugas yang membuat jemariku pegal,
di antara kertas-kertas yang berserakan.
Aku masih merindukanmu.
Langganan:
Postingan (Atom)