Blogger Widgets

Glee Cast - Total Eclipse of the Heart

my

Minggu, 12 Oktober 2014

Gak Jelas

Hahahaha :D Ini kita waktu LDK gaaaeeesss  :v Sumpah yaaaa ini waktu acara OUTBOND nya kakak senior kita... kita di suruh buat yel yel gituu.. nah, harus ada gerakannya.. Kalian tau nggak itu yang ada di sebelah aku siapa ajaaa?! yang pas sebelah aku itu ketos :D trus sebelahnya lagi Densi, yang paling heboh gerakannya namanya Nita, dia partner aku.. trus yang sebelah lagi namanya Ilham, Bagas, dan Dianaa.... kita ngerasain bebas bangeet waktu ituuu.. jadi kita nggak malu pake goyang-goyangan apa aja lah...

Kamis, 05 Juni 2014

Sampai kamu datang :)

Begitu lama hubungan kita terjalin, ternyata semua telah melekat, termasuk cinta? Kamu tak percaya? Tentu saja. Kamu selalu tak percaya pada perasaanku. Kamu lebih memercayai persepsimu sendiri. Kamu menjunjung tinggi pengetahuanmu. Padahal, kalau boleh jujur, aku tak pernah berbohong jika berkata rindu yang bukan semu itu. Empat bulan setelah perpisahan kita. Semua begitu berbeda. Entah mengapa meskipun aku belum bisa move on, sudah lahir saja rindu yang sulit kuatasi. Aku mencari-cari kamu dengan menggunakan apapun. Aku mengharapkan beritamu mampir walaupun sekadar cerita atau mitos semata. Semoga kau baik² saja ya. Aku bertanya-tanya, apa salahku? Untuk Cah(a)ya Penunjukku, aku kebingungan melawan resah dan kangen. Aku berusaha tak memikirkan kamu dan kenangan-kenangan kita dulu, tapi semakin kulawan, semakin kau hadir dan melekat. Perpisahan memang harusnya terlalu menghasilkan rasa sakit karena hubungan kita terjalin begitu lama. Aku hanya menyesal, mengapa semua yang kupikir akan berakhir bahagia malah berakhir secepat itu? Satu helaan napasku memburu, kucuri kamu dalam otakku. Kamu tetaplah bayang-bayang, menghamburkan harapan, kemudian menghempaskan. Aku melirik ke belakang, melihat dan mengingat apa saja yang pernah kita lakukan. Aku ingat ketika kamu memerhatikanku dengan baik dan peduli. Aku merekam segala rasa cemasmu ketika aku bercerita tentang cowok lain (mungkin. atau hanya perasaanku saja). Aku mengenang senyumanmu untukku yang kulihat pertama kali. Rasanya, aku tak cukup kuat untuk mengembalikan segalanya kembali seperti awal perkenalan kita. Aku menunggu saat kita bisa bertemu lagi, saling menumbuhkan rasa percaya juga cinta. Aku menunggu kamu datang, membawa pelukan juga rindu yang ku pendam. Mungkinkah kau punya rindu sedalam dan seluas yang kusimpan? Mungkinkah kau punya cinta dan sayang sekuat dan seindah yang kupunya? Mungkin iya, mungkin juga tidak. Kamu begitu sulit kutebak, tapi aku mencintai segala teka-tekimu. Kamu hadir di saat yang tepat, saat aku membutuhkan perkenalan tanpa keribetan, saat aku menginginkan cowok romantis di sampingku. Aku menemukan sosok cowok idaman dalam dirimu, tapi sepertinya aku bukanlah sosok yang kau inginkan. Aku terlalu buruk untukmu. Aku tak ingin wajah tampanmu bersanding dengan cewek seperti aku. Kamu terlalu sempurna untuk kugapai dan aku hanyalah cewek sederhana yang merindukan takdir indah. Sayang, aku menunggu kamu pulang. Kepulanganmu adalah kebahagiaan bagiku. Aku menunggu kamu berbalik arah dan kembali berjalan ke arahku. Aku mulai mencintaimu dan kurasa kamu juga begitu. Kamu selalu berkata cinta, mengucap rindu, dan tersenyum ke arahku dengan wajah manis. Cukupkah segala alasan itu menjadi dasar penilaiku, bahwa kau juga mencintaiku? Memang terlalu tergesa-gesa menyebutnya cinta, karna kita belum cukup dewasa, tapi izinkan aku bilang bahwa cinta pun bisa datang bahkan tanpa aku meminta. Ketika berawal denganmu, aku tak minta banyak hal selain pertemanan. Tapi, kau membuka mataku dan mengecup manis anganku, hingga aku merasa nyaman jika berada di dekatmu. Jika perasaan itu makin tumbuh, salahkah aku? Maaf, jika aku terlalu berharap banyak. Maaf, jika aku tak bersikap sadar diri ataupun memilih pergi. Aku menunggumu sampai datang. Pulanglah, Sayang. Jangan pergi lagi. Aku menunggumu sampai waktu tak izinkan kita bersatu.

Dan lagi .. ..

Ini bukan yang pertama, duduk sendirian dan memerhatikan beberapa tulisan berlalu-lalang. Setiap abjad yang tersusun dalam kata terangkai menjadi kalimat, dan entah mengapa sosokmu selalu berada di sana, berdiam dalam tulisan yang sebenarnya enggan aku baca dan kudefinisikan lagi. Ini bukan yang baru bagiku, duduk berjam-jam tanpa merasakan hangatnya perhatianmu melalui pesan singkat. Kekosongan dan kehampaan sudah berganti-ganti wajah sejak tadi, namun aku tetap menunduk, mencoba tak memedulikan keadaan. Karena jika aku terlalu terbawa emosi, aku bisa mati iseng sendiri. Tentu saja, kamu tak merasakan apa yang kurasakan, juga tak memiliki rindu yang tersimpan rapat-rapat. Aku sengaja menyembunyikan perasaan itu, agar kita tak lagi saling menganggu. Bukankah dengan berjauhan seperti ini, semua terasa jadi lebih berarti? Seakan-akan aku tak pernah peduli, seakan-akan aku tak mau tahu, seakan-akan aku tak miliki rasa perhatian. Bagiku, sudah cukup seperti ini, cukup aku dan kamu, tanpa kita. Kali ini, aku tak akan menjelaskan tentang kesepian, atau bercerita tentang banyak hal yang mungkin saja sulit kaupahami. Karena aku sudah tahu, kamu sangat sulit diajak basa-basi, apalagi jika berbicara soal cinta mati. Aku yakin, kamu akan menutup telinga dan membesarkan volume lagu-lagu yang bernyanyi bahkan tanpa lirik yang tak bisa kauterjemahkan sendiri. Aku tidak akan tega membebanimu dengan cerita-cerita absurd yang selalu kaubenci. Seperti dulu, saat aku bicara cinta, kaumalah tertawa. Seperti saat kita masih bersama, aku berkata rindu, namun kautulikan telinga. Hanya cerita sederhana yang mungkin tak ingin kaudengar sebagai pengantar tidurmu. Kamu tak suka jika kuceritakan tentang air mata bukan? Bagaimana kalau kualihkan air mata menjadi senyum pura-pura? Tentu saja, kautak akan melihatnya, sejauh yang kutahu; kamu tidak peka. Dan, mungkin saja sifat burukmu masih sama, walaupun kita sudah lama berpisah dan sudah lama tak saling bertatap mata. Entah mengapa, akhir-akhir ini sepi sekali. Aku seperti berbisik dan mendengar suaraku sendiri. Namun, aku masih saja heran, dalam gelapnya malam ternyata ada banyak cerita yang sempat terlewatkan. Ini tentang kita. Ah... sekarang kamu pasti sedang membuang muka, tak ingin membuka luka lama. Aku pun juga begitu, tak ingin menyentuh bayang-bayangmu yang samar, tak ingin mereka-reka senyummu yang tak seindah dulu. Kalau boleh aku jujur, kata "dulu" begitu akrab di otak, pikiran, dan telingaku. Seperti ada sesuatu yang terjadi, sangat dekat, sangat mendalam, sampai-sampai tak mampu terhapus begitu saja oleh angkuhnya waktu dan jarak. Sudah kesekian kali, aku diam-diam menyebut namamu dalam sepi, dan membiarkan kenangan terbang mengikuti gelitik manja angin; tertiup jauh namun mungkin akan kembali. Wajah baruku bisa kaulihat sendiri, terlihat lebih baik dan lebih hangat daripada saat awal perpisahan kita. Bicara tentang perpisahan, benarkah kita memang telah berpisah? Benarkah kita sudah saling melupakan? Jika memang ada kata "saling", tapi mengapa hatiku masih ingin terus mengikatmu? Dan, mengapa hingga saat ini kamu tak benar-benar menjauh? Kadang, jarak tak menjadi alasan untuk kita saling berbagi. Dalam serba ketidakjelasan, aku dan kamu masih saja menjalani... menjalani sesuatu yang tak tahu harus disebut apa. Tapi, katamu, masih ada rasa nyaman ketika kita kembali berdekatan. Terlalu tololkah jika kusebut belahan jiwa? Keterikatan aku dan kamu tak ada dalam status, tapi jiwa kita, napas kita, kerinduan kita, miliki denyut dan detak yang sama. Tidak usah dibawa serius, hanya beberapa rangkaian paragraf bodoh untuk menemani rasa sepi yang sudah lama sekali datang menghantui. Sejak kamu tak lagi di sini, sejak aku dan kamu memilih jalan sendiri-sendiri, aku malah sering main dengan sepi, sulit untuk dipungkiri. 14 Desember. Iya, saat itu aku dan kamu menjadi kita. Indah. Tapi, masa lalu, dulu. Sudah kubilang dari awal kan, "dulu" itu memang menyenangkan. Dan, di antara tugas-tugas yang membuat jemariku pegal, di antara kertas-kertas yang berserakan. Aku masih merindukanmu.

Jumat, 23 Mei 2014

Mungkin.. aku yang terlalu berharap.

Rasanya semua terjadi begitu cepat, kita berkenalan lalu tiba-tiba merasakan perasaan yang aneh. Setiap hari rasanya berbeda dan tak lagi sama. Kamu hadir membawa banyak perubahan dalam hari-hariku. Hitam dan putih menjadi lebih berwarna ketika sosokmu hadir mengisi ruang-ruang kosong di hatiku. Tak ada percakapan yang biasa, seakan-akan semua terasa begitu ajaib dan luar biasa. Entahlah, perasaan ini bertumbuh melebihi batas yang kutahu. Aku menjadi takut kehilangan kamu. Siksaan datang bertubi-tubi ketika tubuhmu tidak berada di sampingku. Kamu seperti mengendalikan otak dan hatiku, ada sebab yang tak kumengerti sedikitpun. Aku sulit jauh darimu, aku membutuhkanmu seperti aku butuh udara. Napasku akan tercekat jika sosokmu hilang dari pandangan mata. Salahkah jika kamu selalu kunomorsatukan? Tapi... entah mengapa sikapmu tidak seperti sikapku. Perhatianmu tak sedalam perhatianku. Tatapan matamu tak setajam tatapan mataku. Adakah kesalahan di antara aku dan kamu? Apakah kamu tak merasakan yang juga aku rasakan? Kamu mungkin belum terlalu paham dengan perasaanku, karena kamu memang tak pernah sibuk memikirkanku. Berdosakah jika aku seringkali menjatuhkan air mata untukmu? Aku selalu kehilangan kamu, dan kamu juga selalu pergi tanpa meminta izin. Meminta izin? Memangnya aku siapa? Kekasihmu? Bodoh! Tolol! Hadir dalam mimpimu pun aku sudah bersyukur, apalagi bisa jadi milikmu seutuhnya. Mungkinkah? Bisakah? Janjimu terlalu banyak, hingga aku lupa menghitung mana saja yang belum kamu tepati. Begitu sering kamu menyakiti, tapi kumaafkan lagi berkali-kali. Lihatlah aku yang hanya bisa terdiam dan membisu. Pandanglah aku yang mencintaimu dengan tulus namun kau hempaskan dengan begitu bulus. Seberapa tidak pentingkah aku? Apakah aku hanyalah persimpangan jalan yang selalu kau abaikan–juga kautinggalkan? Apakah aku tak berharga di matamu? Apakah aku hanyalah boneka yang selalu ikut aturanmu? Di mana letak hatimu?! Aku tak bisa bicara banyak, juga tak ingin mengutarakan semua yang terlanjur terjadi. Aku tak berhak berbicara tentang cinta, jika kauterus tulikan telinga. Aku tak mungkin bisa berkata rindu, jika berkali-kali kauciptakan jarak yang semakin jauh. Aku tak bisa apa-apa selain memandangimu dan membawa namamu dalam percakapan panjangku dengan Tuhan. Sadarkah jemarimu selalu lukai hatiku? Ingatkah perkataanmu selalu menghancurleburkan mimpi-mimpiku? Apakah aku tak pantas bahagia bersamamu? Terlau banyak pertanyaan. Aku muak sendiri. Aku mencintaimu yang belum tentu mencintaiku. Aku mengagumimu yang belum tentu paham dengan rasa kagumku. Aku bukan siapa-siapa di matamu, dan tak akan pernah menjadi siapa-siapa. Sebenarnya, aku juga ingin tahu, di manakah kauletakkan hatiku yang selama ini kuberikan padamu. Tapi, kamu pasti enggan menjawab dan tak mau tahu soal rasa penasaranku. Siapakah nanti seseorang yang telah beruntung karena memiliki hatimu? Mungkin... semua memang salahku. Yang menganggap semuanya berubah sesuai keinginanku. Salahkah jika perasaanku bertumbuh melebihi batas kewajaran? Aku mencintaimu tidak hanya sebagi teman, tapi juga sebagai seseorang yang bergitu bernilai dalam hidupku. Namun, semua jauh dari harapku selama ini. Mungkin, memang aku yang terlalu berharap terlalu banyak. Akulah yang tak menyadari posisiku dan tak menyadari letakmu yang sengguh jauh dari genggaman tangan. Akulah yang bodoh. Akulah yang bersalah! Tenanglah, tak perlu memerhatikanku lagi. Aku terbiasa tersakiti kok, terutama jika sebabnya kamu. Tidak perlu basa-basi, aku bisa sendiri. Dan, kamu pasti tak sadar, aku berbohong jika aku bisa begitu mudah melupakanmu. Menjauhlah. Aku ingin dekat-dekat dengan kesepian saja, di sana lukaku terobati, di sana tak kutemui orang sepertimu, yang berganti-ganti topeng dengan mudahnya, yang berkata sayang dengan gampangnya. "Dari seseorang yang kehabisan cara membuktikan rasa cintanya"

Kamis, 22 Mei 2014

Bisakah kau bayangkan?

Kamu pernah menjadi bagian hari-hariku. Setiap malam, sebelum tidur, kuhabiskan beberapa menit untuk membaca pesan singkatmu. Tawa kecilmu, kecupan berbentuk tulisan, dan canda kita selalu membuatku tersenyum diam-diam. Perasaan ini sangat dalam, sehingga aku memilih untuk memendam. Jatuh cinta terjadi karena proses yang cukup panjang, itulah proses yang seharusnya aku lewati secara alamiah dan manusiawi. Aku terlalu penasaran ketika mengetahui kehadiranmu mulai mengisi kekosongan hatiku. Kebahagiaanku mulai hadir ketika kamu menyapaku lebih dulu dalam pesan singkat. Semua begitu bahagia.... dulu. Aku sudah berharap lebih. Kugantungkan harapanku padamu. Kuberikan sepenuhnya perhatianku untukmu. Sayangnya, semua hal itu seakan tak kaugubris. Kamu di sampingku, tapi getaran yang kuciptakan seakan tak benar-benar kaurasakan. Kamu berada di dekatku, namun segala perhatianku seperti menguap tak berbekas. Apakah kamu benar tidak memikirkan aku? Temanmu bilang, kamu melankolis, senang memendam, dan enggan bertindak banyak. Kamu lebih senang menunggu. Tuan, tak mungkin kautak tahu ada perasaan aneh di dadaku. Kekasihku, tak mungkin kautak memahami perjuangan yang kulakukan untukmu. Kamu ingin tahu rasanya seperti aku? Aku hanya ingin melihatmu bahagia. Senyummu adalah salah satu keteduhan yang paling ingin kulihat setiap hari. Dulu, aku berharap bisa menjadi salah satu sebab kautersenyum setiap hari, tapi ternyata harapku terlalu tinggi. Semua telah berakhir. Tanpa lambaian tangan. Tanpa kaujujur mengenai perasaanmu. Perjuanganku terhenti karena aku merasa tak pantas lagi berada di sisimu. Mungkin sudah ada seseorang yang baru, yang nampaknya jauh lebih baik dan sempurna daripada aku. Setelah tahu semua itu, apakah kamu pernah menilik sedikit saja perasaanku? Ini semua terasa aneh bagiku. Kita yang dulu sempat dekat, walaupun punya status, meskipun berada dalam ketidakjelasan. Aku yang terbiasa dengan sapaanmu di pesan singkat harus (terpaksa) ikhlas karena akhirnya kamu sibuk. Aku berusaha memahami itu. Setiap hari. Setiap waktu. Aku berusaha meyakini diriku bahwa semua sudah berakhir dan aku tak boleh lagi berharap terlalu jauh. Tuan, jika aku bisa langsung meminta pada Tuhan, aku tak ingin perkenalan kita terjadi. Aku tak ingin mendengar suaramu ketika menyebutkan nama. Aku tak ingin membaca pesan singkatmu yang lugu tapi manis. Sungguh, aku tak ingin segala hal manis itu terjadi jika pada akhirnya kamu menghempaskan aku. Kalau kauingin tahu bagaimana perasaanku, seluruh kosakata dalam miliyaran bahasa tak mampu mendeskripsikan. Perasaan bukanlah susunan kata dan kalimat yang bisa dijelaskan dengan definisi dan arti. Perasaan adalah ruang paling dalam yang tak bisa tersentuh hanya dengan perkatan dan bualan. Aku lelah. Itulah perasaanku. Sudahkah kaupaham? Belum. Tentu saja. Apa pedulimu padaku? Aku tak pernah ada dalam matamu, aku selalu tak punya tempat dalam hatimu. Setiap hari, setiap waktu, setiap aku mengingatmu; aku selalu berusaha menganggap semua baik-baik saja. Semua akan berakhir seiring berjalannya waktu. Aku membayangkan perasaanku yang suatu saat nanti pasti akan hilang, aku memimpikan lukaku akan segera kering, dan tak ada lagi hal-hal penyebab aku menangis setiap malam. Namun.... sampai kapan aku harus terus mencoba? Sementara ini saja, aku tak kuat untuk mengingatku. Sulit bagiku menerima kenyataan. Tak mudah meyakinkan diriku sendiri untuk segera melupakanmu kemudian mencari pengganti. Seandainya kamu bisa membaca perasaanku dan kamu bisa mengetahui isi otakku, mungkin hatimu yang beku akan segera mencair. Aku tak tahu apa salahku, tiba-tiba terhempas dari dunia mimpi ke dunia nyata. Tak penasarankah kamu pada nasib yang membiarkan kita kedinginan seorang diri tanpa teman dan kekasih? Aku menulis ini ketika mataku tak kuat lagi menangis. Aku menulis ini ketika mulutku tak mampu lagi berkeluh. Aku mengingatmu sebagai sosok yang pernah hadir. Seandainya kautahu perasaanku dan bisa membaca keajaiban dalam perjuanganku, mungkin kamu memperjuangkanku sebagai tujuan. Tapi, kurasa tidak. Semoga kautahu, aku berjuang, setiap hari untuk melupakanmu. Aku memaksa diriku agar membencimu, setiap hari, aku berusaha keras, setiap hari, menerima kenyataan yang begitu kelam. Bisakah kaubayangkan rasanya jadi orang yang setiap hari terluka, hanya karena ia tak tahu bagaimana perasaan orang yang mencintainya? Bisakah kaubayangkan rasanya jadi aku yang setiap hari harus mengingatmu mengulang masa lalu? Bisakah kaubayangkan rasanya jadi seseorang yang setiap hari menahan tangisnya agar tetap terlihat baik-baik saja? Kamu tak bisa. Tentu saja. Kamu tidak perasa.

Jika kau merasakan jadi aku !

Akhirnya, aku sampai di tahap ini. Posisi yang sebenarnya tak pernah kubayangkan. Aku terhempas begitu jauh dan jatuh terlalu dalam. Kukira langkahku sudah benar. Kupikir anggapanku adalah segalanya. Aku salah, menyerah adalah jawaban yang kupilih; meskipun sebenarnya aku masih ingin memperjuangkan kamu. Aku terpaksa berhenti karena tugasku untuk mencintaimu kini telah selesai (tapi kurasa tidak). Hari-hariku yang tiba-tiba kosong dan berbeda ternyata cukup membawa rasa tertekan. Mungkin, ini berlebihan. Tentu saja kaupikir ini sangat berlebihan karena kamu tak ada dalam posisiku, kamu tak merasakan sesaknya jadi aku. Jika aku punya kemampuan membaca matamu dan mengerti isi otakmu, mungkin aku tak akan mempertahankan kamu sejauh ini. Jika aku cukup cerdas menilai bahwa perhatianmu bukanlah hal yang terlalu spesial, mungkin sudah dari dulu kita tak saling kenal. Aku terburu-buru mengartikan segala perhatian dan ucapanmu adalah wujud terselubung dari cinta. Bukankah ketika jatuh cinta, setiap orang selalu menganggap segala hal yang biasa terasa begitu spesial dan manis? Aku pernah merasakan fase itu. Aku juga manusia biasa. Kuharap kamu memahami dan menyadari. Aku berhak merasa bahagia karena membaca pesan singkatmu disela-sela dingin malamku. Aku boleh tersenyum karena detak jantungku tak beraturan ketika kamu memberi sedikit kecupan meskipun hanya berbentuk tulisan. Aku mencintaimu. Sungguh. Mengetahui kautak menganggapku ada adalah hal paling sulit yang bisa kumengerti. Aku masih belum mengerti. Mengapa semua berakhir sesakit ini? Aku sudah berusaha semampuku, menjunjung tinggi kamu sebisaku, tapi di mana perasaanmu? Tatapanmu dingin, sikapmu dingin, dan mengacuhkanku. Aku hanya temanmu. Hanya temanmu. Temanmu! Jika kauingin tahu, aku kesesakan dalam status yang menyedihkan itu. Aku terkatung-katung sendirian. Meminum asam dan garam, membiarkan kamu meneguk hal-hal manis. Begitu banyak yang kulakukan, mengapa matamu masih belum terbuka dan hatimu masih tertutup ragu? Sejak dulu, harusnya tak perlu kuperhatikan kamu sedetail itu. Sejak tahu kehadiranmu, harusnya aku tak menggubris. Aku terlalu penasaran, terlalu mengikuti rasa keingintahuanku. Jika dari awal aku tak mengenalmu, mungkin aku tak akan tahu rasanya meluruhkan air mata di pipi. Iya. Aku bodoh. Puas? Semua berlalu dan semua cerita harus punya akhir. Ini bukan akhir yang kupilih. Seandainya aku bisa memilih cerita akhir, aku hanya ingin mendekapmu, sehingga kautahu; di sini aku selalu bergetar ketika mendoakanmu.

Minggu, 30 Maret 2014

Aku? Tanpa sosok sepertimu.

Hem.. Malam ini sama seperti malam sebelumnya.. Malam dimana aku dengan setumpuk rindu yang kutahu takkan pernah berubah untukmu. Aku teringat hari dimana kau selalu mengisi kekosongan hatiku, memberikan sedikit perhatianmu kepadaku meski aku tau sesibuk apakah kau dengan duniamu. Kau yg sama sekali tak pernah berkata kasar atau pun marah kepadaku. Indahnya dulu.. mungkin dulu aku adalah orang yang paling bahagia yang pernah mengenalmu bahkan mencicipi indahnya kebersamaan denganmu. Bayangmu selalu terngiang dipikiranku,berjalan-jalan seenaknya setiap waktu diotakku. Ketika aku tersenyum, bayangmu selalu ada untukku. Ketika aku bersedih, bayangmu seolah menjadi alasan aku untuk tersenyum kembali. Yah mungkin ini sedikit lebay, tapi ini kenyataanku dengan sosokmu AD Andai saja kita saling terbuka, andai saja kita mau jujur dengan hati kita, mungkin pikiranku tak sekacau malam itu. Malam itu seluruh perasaan didunia ini sedang menghampiriku. Ketika aku mulai merasakan perubahan-perubahan sikapmu terhadapku aku mulai merasa ada ‘tali’ yang menjerat hatiku hingga merasa sesak. Air mataku buyar, kelopak mataku tak mampu menahannya lagi. Bahkan sosok bayangmu pun tak mampu menjadi alasanku untuk tersenyum lagi. Aku wanita cengeng yang tak mampu menepis rasa pedihku. Malam itu suram. Aku kacau. Seharusnya aku tau dari awal, seharusnya aku sadar dari awal. Aku ini siapa? Aku sebagai apa untukmu? Apa aku ini punya hak untuk memikirkanmu? Aku yang salah yang terlanjur menaruh rasa sayang yang terlalu dalam. Aku yang salah yang selalu memikirkanmu. Aku yang salah yang selalu menunggu telepon genggamku berdering berharap itu adalah sms darimu. Aku yang salah yang terlalu berharap menjadi sosok yang berharga dihidupmu. Seharusnya aku tak sedih jika ini terjadi, karena aku bukan sosok yang kau harapkan. Karena aku bukan sosok yang bisa mengerti maksud amarahmu. Karena aku bukan sosok yang bisa membaca dan mengerti isi hatimu. Kini segalanya telah kupasrahkan kepada Tuhan. Aku tak tahu apa yang akan terjadi nanti. Hanya saja aku sedang berusaha memaksakan diri untuk merelakan kepergian sosok bayangmu yang dulu begitu manis melekat diotakku. Kini aku tak punya hak cemburu atau membenci sosokmu, itu bukan pilihanku. Aku hanya mampu menahan rindu, membungkus rasa sayang didalam hati. Hanya didalam hati. “tali” itu semakin menjerat perasaanku. Sakit? Aku tau kau tau perasaanku ini. Tuhan.. Mungkinkah ini yang terbaik untuk aku dan dia? Jika dia telah menemukan sosok wanita yang dia harapkan, tolong bahagiakan dia .. Tuhan .. Terimakasih Engkau telah memberi kesempatan kepadaku untuk mengenalnya.. Sampaikan rinduku pada dia..... Sampaikan kata maafku untuknya.. Aku merindukan senyum manisnya untukku, AD Dedicated for my Cahya AY♥.